Bicara tentang cita cita, setiap orang pasti memilikinya, mari kita flashback ke masa kecil. Sewaktu SD aku sangat suka sekali pelajaran matematika, bisa dibilang jago kali yaa. Terus aku berpikir enaknya jadi apa yaa kalau udah besar nanti. Aku melihat bahwa menjadi guru sepertinya akan menyenangkan, dan guru merupakan salah satu cita cita favorit untuk anak anak sama halnya seperti polisi, dokter, tentara, dan sejenisnya. Yaudah deh, jadi selama SD aku bercita cita untuk menjadi guru, lebih spesifiknya guru matematika. Jadi, kalau ada yang nanya Cita Citamu apa? aku sudah punya jawaban bahwa cita citaku adalah menjadi seorang guru.
Masuk fase SMP, aku masih mempertahankan cita citaku, aku dua kali terpilih untuk mewakili sekolah dalam ajang olimpiade matematika tingkat kabupaten. Meskipun pada akhirnya aku tidak menang dalam olimpiade tersebut, setidaknya keikutsertaanku dalam mewakili sekolah menunjukkan bahwa kemampuan matematikaku di sekolah terbilang cukup tinggi.
Ketika masa masa SMP segera berakhir, aku mulai berpikir terbuka, mencoba untuk realistis dengan kondisi yang ada. Sebelumnya aku bisa bebas bercita cita, aku bebas untuk memiliki harapan apapun itu. Tapi kebebasan itu ada batas waktunya, akan ada saatnya sebuah harapan harus diubah menjadi sebuah perencanaan. Tujuannya semata mata agar cita cita tidak hanya menjadi sebuah angan. Namun agar bisa terwujud menjadi kenyataan.
Namun apabila dalam perancanaan tidak didukung dengan kondisi yang ada, maka petensi kegagalan akan jauh lebih tinggi. Akan ada dua pilihan, yaitu berpikir idealis untuk mempertahankan cita cita atau berpikir realistis dengan mengubah perencanaan sesuai dengan kondisi yang ada. Aku memilih opsi yang kedua.
Untuk mewujudkan cita cita menjadi guru, tentu saja setidaknya harus kuliah minimal S1. Aku yang berasal dari keluarga yang terbilang kurang mampu tentu saja akan berpikir berkali kali untuk mewujudkan cita cita tersebut, uang darimana untuk kuliah. wong uang gedug smp aja masih ditawar agar dapat keringanan, hehe. Sebelum itu tentunya juga harus masuk SMA dengan jurusan MIPA agar linear dengan rencana jurusan kuliahnya. yaaa, itu jalur seharusnya yang mungkin dilalui bagi mereka yang cukup uang.
salah satu teman SDku, mungkin bisa dibilang saingan kali yaa, tapi dalam hal akademik. Saat SD aku sering ranking satu, dia ranking dua. pada saat kelas dua SD malah dia tidak terima kalau aku ranking satu, namanya juga anak anak, wkwk. Bedanya dia kaya sedangkan aku biasa saja. eh, malah melebar ke masa kecil lagi. Jadi dia dulu bilang gini waktu mau lulus SMP, aku masih ingat banget.
Kamu gak mau SMA aja ta, terus nanti lanjut kuliah. kamu kan pinter, nanti bisa cari beasiswa.
Degg, perkataannya mungkin ada benarnya, sesaat aku menjadi merasa kalah. Saat SD aku selalu menang, namun menjelang kelulusan SMP aku merasa masa depanku tidaklah jelas, sedangkan dia bisa memilih sekolah dimanapun ia mau atau mewujudkan cita cita sesuai keinginannya.
Terlalu beresiko untuk mengambil SMA, apakah ada jaminan bahwa setelah lulus SMA aku bisa lanjut kuliah ? tentu saja tidak. Jika ingin kerja setelah SMA juga akan sulit dikarenakan tidak dibekali dengan skill khusus dibidang tertentu karena SMA memang lebih banyak teori daripada praktik. Dengan berat hati aku mengubur cita cita masa kecilku.
0 Komentar